“Untuk
Bunda”
Terik matahari menemaniku siang itu,
aku kayuh sepeda tua dengan corak kimia berwarna keemasan yang terlihat masih
cukup kokoh itu untuk pulang ke rumah, sepanjang jalan ku lintasi tanah berkerikil dengan hiasan lubang di sepanjang
jalan, dengan hiburan dedaunan kelapa sawit yang menari-nari bersama hembusan angin
aku nikmati siang itu.
“Annisa, kamu sudah pulang?” tanya
Ibuku
“Iya bu, hari ini sekolah pulang lebih
awal” jawabku
“Oh kebetulan sekali, nanti kamu bisa
bantu ibu metik kelapa sawit?” ajak ibuku
“Tentu saja aku mau bu” jawabku dengan
semangat
“Yaudah ganti baju sana, lihat meja
makan ibu masak makanan kesukaan kamu”
“Baik bu..” aku pun menganti baju
sekolah dan menghampiri meja makan
ku nikmati makan siang itu walau
sangat sederhana aku patut bersyukur karena masih banyak diluar sana yang sulit
makan. Sehabis makan aku melanjutkan tugas sekolah yang belum selesai ku kerjakan
kemarin malam.
“Annisaa..” panggil ibuku
“Iya bu” sahutku
Ku lihat ibu sudah siap dengan
perlengkapan perang memetik kelapa sawit miliknya, dengan perasaan senang aku
pun bergegas keluar meninggalkan tugas sekolah dan membantu ibu memetik kelapa
sawit sore itu. Menyusuri jalan yang tidak kalah menantang dengan jalan yang
kulintasi saat pulang sekolah tadi, mungkin hanya berbeda situasi saja, siang
tadi ditemani sepeda tua itu, tapi kali ini ditemani wanita hebat disampingku
yaitu Ibu.
Di kebun kelapa sawit milik Pak Zhu
inilah ibuku mengais pundi-pundi rupiah untuk bertahan hidup serta membiayai
pendidikan ku. Oh ya ayahku pergi merantau ke negeri seberang tepatnya negeri
sembilan, ayah pergi saat aku masih duduk dibangku sekolah dasar, dia hanya
pulang setahun sekali saat Hari Raya Idul Fitri saja, sedih memang ditinggal
sang ayah tetapi aku harus kuat dengan keadaan ini dan kini untuk menyambung
hidup ayahku tularkan kemampuannya dalam memetik kelapa sawit kepada ibu, sudah
hampir 10 tahun ibuku menaruh hidupnya sebagai petani kelapa sawit, dengan umur
hampir separuh abad ibuku masih kuat dan mahir dalam memetik kelapa sawit, sore
itu aku temani ibuku hingga senja terbenam diufuk barat.
***
“Niss.. bangun” dengan mata yang masih
separuh mengantuk dan tubuh yang masih lemas aku mencoba bangkit dari tidurku,
mentari pagi memang belum memunculkan dirinya tetapi aku harus menjalani ibadah
sholat subuh dan membantu ibuku untuk berjualan ubi rebus. Dinginnya suhu pagi
itu tidak membuat semangat aku pergi kesekolah menjadi beku, aku pun berangkat
ke sekolah dengan rute yang sudah hatam aku lewati tentunya dengan sepeda
peninggalan ayahku, terlihat bangunan yang megah dengan cat putih-hijau dengan
tiang bendera lengkap dengan bendera pusaka berkibar di tanah paling ujung
Indonesia ini. Bel sekolah pun berbunyi ini saatnya untuk belajar, Jam demi jam
pelajaran terlewati hingga bel pulang sekolah berbunyi, aku tak sabar untuk
sampai di rumah membawa kabar gembira yang disampaikan wali kelasku.
“Assalamualaikum, ibu..” teriakku
sambil mencari ibu
“Waalaikumsalam nak, ibu di belakang.”
Jawab ibu dengan suara yang terdengar jauh
“Ibu, Annisa juara 1 Olimpiade Sains
tingkat.” Dengan perasaan gembira ku
sampaikan berita ini
“Alhamdulillah anak ibu pintar
sekali.” Dengan perasaan senang
diselimuti air mata ibuku sangat bersyukur kepada Tuhan.
“Annisa selanjutnya ikut tingkat
nasional di Jakarta bu.” Ucapku
“Ibu bangga sama kamu nak, yaudah kamu
belajar yang rajin supaya raih juara lagi.” Saran ibuku
“Iya bu, Annisa akan buktikan kalo
Annisa bisa.” Sahutku dengan semangat kutinggalkan ibu yang sedang sibuk di
dapur
Dengan waktu yang masih cukup lama
untuk persiapan lomba aku pun mempersiapkan diriku sebisa mungkin diselimut doa
dan usaha yang aku lakukan, dengan modal buku tipis yang aku punya dan pensil
pinjaman dari temanku aku berusaha mengerjakan soal latihan yang diberikan
guruku
***
Waktu yang ditunggu pun tiba, sore itu
aku pamit kepada ibu untuk berangkat ke Jakarta dengan membawa nama Provinsi
Aceh. Aku pun tak lupa minta doa dari ibu, serta tak ketinggalan memeluk ibu
saat perpisahan itu.
“Raih mimpimu nak, buktikan kepada Ibu
kamu bisa” bisik ibu disela kehangatan pelukannya
“Iya bu aku buktikan kepada ibu”
jawabku.
Dengan mobil milik pemerintah aku
berangkat meninggalkan kecamatan Besitang menuju Bandara Sultan Iskandar Muda. 6
Jam perjalanan telah ku lalui, Malam waktu Jakarta aku pun sudah tiba dan aku
diantar panitia penyelenggara yang menjemputku di Bandara untuk ke hotel tempat
aku menginap ini adalah kali pertama aku merasakan suasana kota metropolitan
sekaligus ibukota Negara kita tercinta, sangat berbeda sekali dengan kecamatan
Besitang yang masih sepi penduduk tidak seramai dan sesibuk kota besar ini,
sampai hotel akupun langsung tidur karena perjalanan yang sangat melelahkan.
Pagi itu aku bangun seperti biasa
dengan mentari yang belum memunculkan dirinya aku sudah bangun tetapi pagi itu
aku hanya menunaikan ibadah tidak seperti biasanya yang membantu ibu menyiapkan
ibu rebus untuk dijualnya, padahal baru 1 hari aku jauh darinya kini sudah
teringat ia lagi.
Tepat jam 8 pagi lomba Olimpiade Sains
tingkat nasional pun dimulai, dengan persiapan aku yang cukup matang aku
mengerjakan satu per satu soal dengan mudah, tak terasa 3 jam pun berlalu
dengan jawaban yang kurasa cukup yakin aku meninggalkan ruangan perlombaan itu,
pengumuman lomba akan diumumkan besok hari.
Siang itu aku nikmati keindahan kota
Jakarta yang sepi karena hari ini bertepatan dengan Hari Raya Natal, aku
berjalan menyusuri jalan protokol mengunjungi Museum Nasional atau yang biasa
disebut juga Museum Gajah dan tidak lupa mampir di ikon Jakarta Monumen Nasional
atau Monas hingga petang menjelang, menatap senja di Jakarta aku teringat
disaat aku membantu ibu memetik kelapa sawit sore itu, Aku memutuskan kembali
ke hotel untuk beristirahat sore itu dan bermalam lagi disana.
***
Mentari muncul dengan sinarnya yang cerah
pagi itu dengan perasaan penasaran langkah demi langkah aku lewati menuju
ballroom hotel untuk mengikuti pengumuman perlombaan, aku sangat deg-degan
dengan keadaan ini, aku sangat berharap aku bisa menjadi juara dalam perlombaan
ini.
“Juara 1 Olimpiade Sains tahun 2004
diraih oleh Provinsi…. Aceh!” dengan lantang juri mengumumkan hasil perlombaan
itu.
Dengan perasaan yang sangat gembira
aku bersyukur kepada Tuhan karena aku berhasil menjadi juara pada perlombaan
ini. Aku sangat tidak menyangka bahwa aku yang menjadi juaranya mengalahkan
provinsi lain, dengan perasaan senang atas nama Provinsi Aceh diselimut tangis
kegembiraan aku menerima piala dan hadiah tersebut.
Dengan perasaan senang aku kembali ke
kamar dengan membawa piala dan hadiah tersebut dengan harap agar secepatnya
memberitahu ibu kabar gembira ini, sesampainya di kamar terlihat televisi masih
menyala ternyata aku lupa mematikan televisi pagi tadi, saat aku ingin
mematikan televisi aku menyaksikan acara tersebut dan aku tak menyangka, sekitar
2 jam lalu Aceh digunjang gempa dan menimbulkan tsunami. Aku langsung tersipu
lemas melihat tayangan itu, aku pun menangis saat melihat tayangan di layar
kaca tersebut sambil memikirkan keadaan ibu, dengan perasaan sedih aku langsung
bersiap untuk kembali ke Aceh.
Sesampainya disana apa yang terlihat,
tanah kelahiranku kini rata dengan tanah kulihat kebun kelapa sawit yang kini
menjadi puing-puing bangunan hancur akibat terbawa tsunami, aku berusaha
mencari ibuku ke sana ke mari tetapi hasilnya nihil, saat aku lihat posko
kesehatan darurat kulihat wanita dengan baju yang sudah kotor dan wajah yang
pucat berbaring disana kudekati wanita itu, ternyata itu ibu “Ibuuu…” teriakku
sambil memeluk ibu dengan penuh penyesalan. Aku rasakan denyut nadinya yang
tadi lagi berdetak dan tangannya yang dingin, aku tak menyangka kini ibu sudah
tiada tenggelam dalam bencana besar tersebut. Aku tak kuasa menahan tangis ini
tidak seperti yang aku harapkan aku pulang membawa kabar gembira tetapi ibu
sudah tiada.
-Selesai-
No comments:
Post a Comment