Laman

Thursday, October 23, 2014

Untuk Bunda [Cerpen]


“Untuk Bunda”

Terik matahari menemaniku siang itu, aku kayuh sepeda tua dengan corak kimia berwarna keemasan yang terlihat masih cukup kokoh itu untuk pulang ke rumah, sepanjang jalan ku lintasi tanah  berkerikil dengan hiasan lubang di sepanjang jalan, dengan hiburan dedaunan kelapa sawit yang menari-nari bersama hembusan angin aku nikmati siang itu.

“Annisa, kamu sudah pulang?” tanya Ibuku

“Iya bu, hari ini sekolah pulang lebih awal” jawabku

“Oh kebetulan sekali, nanti kamu bisa bantu ibu metik kelapa sawit?” ajak ibuku

“Tentu saja aku mau bu” jawabku dengan semangat

“Yaudah ganti baju sana, lihat meja makan ibu masak makanan kesukaan kamu”

“Baik bu..” aku pun menganti baju sekolah dan menghampiri meja makan
ku nikmati makan siang itu walau sangat sederhana aku patut bersyukur karena masih banyak diluar sana yang sulit makan. Sehabis makan aku melanjutkan tugas sekolah yang belum selesai ku kerjakan kemarin malam.

“Annisaa..” panggil ibuku

“Iya bu” sahutku

Ku lihat ibu sudah siap dengan perlengkapan perang memetik kelapa sawit miliknya, dengan perasaan senang aku pun bergegas keluar meninggalkan tugas sekolah dan membantu ibu memetik kelapa sawit sore itu. Menyusuri jalan yang tidak kalah menantang dengan jalan yang kulintasi saat pulang sekolah tadi, mungkin hanya berbeda situasi saja, siang tadi ditemani sepeda tua itu, tapi kali ini ditemani wanita hebat disampingku yaitu Ibu.

Di kebun kelapa sawit milik Pak Zhu inilah ibuku mengais pundi-pundi rupiah untuk bertahan hidup serta membiayai pendidikan ku. Oh ya ayahku pergi merantau ke negeri seberang tepatnya negeri sembilan, ayah pergi saat aku masih duduk dibangku sekolah dasar, dia hanya pulang setahun sekali saat Hari Raya Idul Fitri saja, sedih memang ditinggal sang ayah tetapi aku harus kuat dengan keadaan ini dan kini untuk menyambung hidup ayahku tularkan kemampuannya dalam memetik kelapa sawit kepada ibu, sudah hampir 10 tahun ibuku menaruh hidupnya sebagai petani kelapa sawit, dengan umur hampir separuh abad ibuku masih kuat dan mahir dalam memetik kelapa sawit, sore itu aku temani ibuku hingga senja terbenam diufuk barat.
***
“Niss.. bangun” dengan mata yang masih separuh mengantuk dan tubuh yang masih lemas aku mencoba bangkit dari tidurku, mentari pagi memang belum memunculkan dirinya tetapi aku harus menjalani ibadah sholat subuh dan membantu ibuku untuk berjualan ubi rebus. Dinginnya suhu pagi itu tidak membuat semangat aku pergi kesekolah menjadi beku, aku pun berangkat ke sekolah dengan rute yang sudah hatam aku lewati tentunya dengan sepeda peninggalan ayahku, terlihat bangunan yang megah dengan cat putih-hijau dengan tiang bendera lengkap dengan bendera pusaka berkibar di tanah paling ujung Indonesia ini. Bel sekolah pun berbunyi ini saatnya untuk belajar, Jam demi jam pelajaran terlewati hingga bel pulang sekolah berbunyi, aku tak sabar untuk sampai di rumah membawa kabar gembira yang disampaikan wali kelasku.

“Assalamualaikum, ibu..” teriakku sambil mencari ibu

“Waalaikumsalam nak, ibu di belakang.” Jawab ibu dengan suara yang terdengar jauh

“Ibu, Annisa juara 1 Olimpiade Sains tingkat.”  Dengan perasaan gembira ku sampaikan berita ini

“Alhamdulillah anak ibu pintar sekali.”  Dengan perasaan senang diselimuti air mata ibuku sangat bersyukur kepada Tuhan.

“Annisa selanjutnya ikut tingkat nasional di Jakarta bu.” Ucapku

“Ibu bangga sama kamu nak, yaudah kamu belajar yang rajin supaya raih juara lagi.” Saran ibuku

“Iya bu, Annisa akan buktikan kalo Annisa bisa.” Sahutku dengan semangat kutinggalkan ibu yang sedang sibuk di dapur

Dengan waktu yang masih cukup lama untuk persiapan lomba aku pun mempersiapkan diriku sebisa mungkin diselimut doa dan usaha yang aku lakukan, dengan modal buku tipis yang aku punya dan pensil pinjaman dari temanku aku berusaha mengerjakan soal latihan yang diberikan guruku
***
Waktu yang ditunggu pun tiba, sore itu aku pamit kepada ibu untuk berangkat ke Jakarta dengan membawa nama Provinsi Aceh. Aku pun tak lupa minta doa dari ibu, serta tak ketinggalan memeluk ibu saat perpisahan itu.

“Raih mimpimu nak, buktikan kepada Ibu kamu bisa” bisik ibu disela kehangatan pelukannya

“Iya bu aku buktikan kepada ibu” jawabku.

Dengan mobil milik pemerintah aku berangkat meninggalkan kecamatan Besitang menuju Bandara Sultan Iskandar Muda. 6 Jam perjalanan telah ku lalui, Malam waktu Jakarta aku pun sudah tiba dan aku diantar panitia penyelenggara yang menjemputku di Bandara untuk ke hotel tempat aku menginap ini adalah kali pertama aku merasakan suasana kota metropolitan sekaligus ibukota Negara kita tercinta, sangat berbeda sekali dengan kecamatan Besitang yang masih sepi penduduk tidak seramai dan sesibuk kota besar ini, sampai hotel akupun langsung tidur karena perjalanan yang sangat melelahkan.

Pagi itu aku bangun seperti biasa dengan mentari yang belum memunculkan dirinya aku sudah bangun tetapi pagi itu aku hanya menunaikan ibadah tidak seperti biasanya yang membantu ibu menyiapkan ibu rebus untuk dijualnya, padahal baru 1 hari aku jauh darinya kini sudah teringat ia lagi.

Tepat jam 8 pagi lomba Olimpiade Sains tingkat nasional pun dimulai, dengan persiapan aku yang cukup matang aku mengerjakan satu per satu soal dengan mudah, tak terasa 3 jam pun berlalu dengan jawaban yang kurasa cukup yakin aku meninggalkan ruangan perlombaan itu, pengumuman lomba akan diumumkan besok hari.

Siang itu aku nikmati keindahan kota Jakarta yang sepi karena hari ini bertepatan dengan Hari Raya Natal, aku berjalan menyusuri jalan protokol mengunjungi Museum Nasional atau yang biasa disebut juga Museum Gajah dan tidak lupa mampir di ikon Jakarta Monumen Nasional atau Monas hingga petang menjelang, menatap senja di Jakarta aku teringat disaat aku membantu ibu memetik kelapa sawit sore itu, Aku memutuskan kembali ke hotel untuk beristirahat sore itu dan bermalam lagi disana.

***
Mentari muncul dengan sinarnya yang cerah pagi itu dengan perasaan penasaran langkah demi langkah aku lewati menuju ballroom hotel untuk mengikuti pengumuman perlombaan, aku sangat deg-degan dengan keadaan ini, aku sangat berharap aku bisa menjadi juara dalam perlombaan ini.

“Juara 1 Olimpiade Sains tahun 2004 diraih oleh Provinsi…. Aceh!” dengan lantang juri mengumumkan hasil perlombaan itu.

Dengan perasaan yang sangat gembira aku bersyukur kepada Tuhan karena aku berhasil menjadi juara pada perlombaan ini. Aku sangat tidak menyangka bahwa aku yang menjadi juaranya mengalahkan provinsi lain, dengan perasaan senang atas nama Provinsi Aceh diselimut tangis kegembiraan aku menerima piala dan hadiah tersebut.

Dengan perasaan senang aku kembali ke kamar dengan membawa piala dan hadiah tersebut dengan harap agar secepatnya memberitahu ibu kabar gembira ini, sesampainya di kamar terlihat televisi masih menyala ternyata aku lupa mematikan televisi pagi tadi, saat aku ingin mematikan televisi aku menyaksikan acara tersebut dan aku tak menyangka, sekitar 2 jam lalu Aceh digunjang gempa dan menimbulkan tsunami. Aku langsung tersipu lemas melihat tayangan itu, aku pun menangis saat melihat tayangan di layar kaca tersebut sambil memikirkan keadaan ibu, dengan perasaan sedih aku langsung bersiap untuk kembali ke Aceh.

Sesampainya disana apa yang terlihat, tanah kelahiranku kini rata dengan tanah kulihat kebun kelapa sawit yang kini menjadi puing-puing bangunan hancur akibat terbawa tsunami, aku berusaha mencari ibuku ke sana ke mari tetapi hasilnya nihil, saat aku lihat posko kesehatan darurat kulihat wanita dengan baju yang sudah kotor dan wajah yang pucat berbaring disana kudekati wanita itu, ternyata itu ibu “Ibuuu…” teriakku sambil memeluk ibu dengan penuh penyesalan. Aku rasakan denyut nadinya yang tadi lagi berdetak dan tangannya yang dingin, aku tak menyangka kini ibu sudah tiada tenggelam dalam bencana besar tersebut. Aku tak kuasa menahan tangis ini tidak seperti yang aku harapkan aku pulang membawa kabar gembira tetapi ibu sudah tiada.


-Selesai-

No comments: