Laman

Thursday, October 23, 2014

Maafkan Ibu, Nak! [Cerpen]

“Maafkan Ibu,Nak!”

“Non, bangun non sudah pagi..”  Suara samar-samar yang semakin terdengar jelas tersebut membangunkanku dari mimpi indahku, kulihat sesosok wanita yang tidak terlalu tinggi dan berbadan kurus itu sedang menyiapkan seragam sekolahku.

“Sekarang jam berapa mbok?” Tanyaku kepada Mbok Suzan pembantu rumah tangga yang sudah 5 tahun bekerja di rumahku.

“Udah jam 5 non, air panas udah Mbok siapkan untuk non”  Jawab Mbok Suzan

Aku mencoba bangkit dari tidurku dengan tubuh yang masih lemas aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi, Pagi itu terasa sangat dingin ya bagaimana tidak AC yang semalam ku nyalakan bersuhu 18°C pantas saja tubuhku mengigil untung saja tidak beku rasanya seperti tidur dalam lemari es. Setelah semuanya siap aku langsung beranjak ke luar rumah terlihat Pak Soleh yang sudah siap untuk mengantar aku ke sekolah, beliau sangat sabar pagi-pagi buta sudah bertarung menghadapi kemacetan Jakarta demi mengantar aku ke sekolah.

“Kriiinnggg…” Bel sekolah berbunyi bersamaan dengan sampainya aku di ruang kelas, kulihat kursi kelas yang sudah penuh dengan penghuninya kurasa hanya kursi aku saja yang masih kosong.

“Tumben gak telat, kesambet apaan hari ini? Dan yang pasti PR belom selesaikan?” Tanya Riska teman sebangku aku.

“Hehe..” Jawabku hanya tertawa kecil dengan sedikit senyum, aku bisa dibilang anak yang masuk kategori pemalas, tapi Riska yang selalu membantukku untuk menghilangkan kebiasaan itu, dia memang anak yang cukup pintar tidak jarang juga dia sering mendapat juara di kelas, tidak salah aku ingin duduk satu meja dengannya dengan harap aku juga terkena pintarnya dia.

Jam demi jam terlewati sampai akhirnya bel berakhirnya pelajaran hari itu berbunyi, ku rapikan semua buku yang masih berantakan di meja dan meninggalkan kelas. Kembali, kulihat pria berbadan besar yang selalu kutemui saat aku keluar sekolah, ya Pak Soleh, yang sudah menanti kedatanganku. Tidak berbeda dengan Mbok Suzan, Pak Soleh juga sudah bekerja 5 tahun untuk keluargaku, dengan keahliannya mengemudi melewati jalan raya hingga jalan tikus dan hatamnya jalan di Jakarta inilah sebab ayahku mempekerjakannya.

Bagaimana dengan orang tuaku? Ayahku adalah direktur di salah satu perusahaan ternama di Jakarta, beliau sangat rajin dan bisa dibilang tipe orang yang pekerja keras. Dan Ibuku, dia adalah sosok wanita tangguh di keluargaku dia bekerja sebagai sekertaris yang perusahaannya tidak kalah terkenal dengan perusahaan ayahku. Pagi buta sebelum aku berangkat sekolah mereka sudah berangkat ke kantor terlebih dulu, dan kembali ke rumah saat aku sudah terlelap. Tidak jarang mereka berdua juga tidak sempat untuk makan malam bersamaku di rumah, biasanya mereka sudah makan malam bersama di luar. Dan itu juga menjadi alasan orangtuaku mempekerjakan Mbok Suzan sebagai pembantu yang juga mengurus aku selama orangtuaku bekerja, mungkin karena terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan masing-masing aku seperti dilupakan olehnya, Aku ingin sekali rasanya berkumpul dengan kedua orangtuaku walau hanya sesaat saja.

“Makan siang udah siap di meja makan non” Kata Mbok Suzan saat melihatku sudah tiba di ruang keluarga, ku taruh tas di ruangan tersebut dan menghampiri meja makan, dengan lauk pauk yang cukup lengkap aku santap makan siang hari itu. Suasana di rumah memang sepi karena aku hanya anak satu-satunya, ingin sekali rasanya aku memiliki suadara, tapi apa daya Tuhan tidak mengkabulkann keinginanku tersebut. Alhasil, hanya media sosial yang bisa menghiburku disaat suntuk tersebut.

Rembulan malam telah nampak, kebetulan besok adalah hari pertama ujian nasioanl aku belajar malam itu dengan sungguh-sungguh, berbekal internet dan buku catatan milik Riska yang kupinjam aku pun belajar. Memang asing rasanya aku belajar malam hari, biasanya aku tidak jauh dari media sosial saat malam menjelang, Tapi kali ini aku ingin rasanya menjadi juara kelas. Malam itu aku belajar cukup lama sampai-sampai aku belajar hingga terlelap di meja belajarku.

***
     Mentari pagi telah memunculkan sinarnya, aku sudah siap dengan soal-soal ulangan yang sudah aku nanti, Pagi ini aku datang lebih awal ini karena permintaanku kepada Mbok Suzan yang membangunkanku lebih awal sebelumnya dan tak ketinggalan jasa Pak Soleh yang mengemudi bagaikan mengendarai mobil sport yang dipacu lebih kilat.

       Soal yang ku tunggu pun telah dibagikan, dengan bekal dan ramuan yang semalam aku persiapkan aku kerjakan soal-soal tersebut, terlihat cukup sulit memang saat pertama aku baca soal itu tapi lama kelamaan aku sudah terbiasa dengan soal tersebut. Waktu 2 jam terlewati dan dengan percaya diri yang memuncak aku kumpulkan lembaran jawaban itu dan ku tinggalkan ruangan ujian.

        Hari demi hari berlalu hingga pada akhirnya aku lega dengan perasaan senang aku sudah melewati masa-masa paling kritis dalam sekolah, pengumuman hasil ujian diumumkan seminggu kemudian. Apa yang terjadi aku tak menyangka bahwa hasil ujian ku adalah hasil ujian tertinggi di sekolah ku, aku memang sangat tidak percaya awalnya tapi ternyata ini memang kenyataan.

       “Kini kamu kan yang juara kelas?” Pertanyaan dengan balutan sindiran tersebut terucap dari Riska.

       “Hehe.. ini juga kan berkat kamu yang selalu membantuku, makasih ya ris” Jawabku dengan rasa terima kasih kepada Riska.

    Siang itu memang berbeda dengan sebelumnya walau terik terasa menyengat tetapi aku ingin rasanya cepat-cepat pulang dan memberikan kabar tersebut kepada kedua orangtuaku. Sepanjang perjalanan pulang Pak Soleh menasihatiku untuk selalu rajin dan tidak ketinggalan diiringi doa serta tidak ketinggalan Pak Soleh juga mengucapkan selamat kepadaku atas hasil yang diraihku. Sampainya dirumah aku terlebih dahulu memberitakannya kepada Mbok Suzan yang juga sangat berjasa selama aku diurusnya.

      “Mbok.. Nilai UN aku tertinggi di sekolah” dengan perasaan gembira aku beritakan kabar tersebut.

       “Alhamdulillah non, selamat ya, terus non mau lanjutin ke sekolah mana? Jangan lupa juga non selalu rajin untuk pertahankan hasil ini” Nasihat Mbok Suzan siang itu

        “Iya mbok, aku belom kepikiran kemana, iya mbok pasti aku pertahanin” ucapku

       Aku kemudian langsung pergi ke kamar dan sama seperti kebiasaan lamaku yang aktif di media sosial, kulihat teman-temanku memberikan ucapan selamat dan sangat terharu karena aku yang tadinya seorang anak pemalas bisa mendapatkan nilai UN tertinggi di sekolah. Hatiku memang sangat senang, tetapi masih ada yang mengganjal untuk meluakan kesenangan ini, orang tuaku belum mengetahui berita ini, aku putuskan untuk menunggunya hingga pulang kerja malam ini.

       Penantian itu akhirnya terwujud, ku dengar suara mobil ayahku yang sedang diparkirkannya di garasi, aku pun langsung menghampirinya dan tak ketinggalan aku beritakan kabar itu kepadanya.

       “Bu, aku dapat nilai UN tertinggi di sekolah” ucapku dengan perasaan senang.

      “Oh bagus nak, belajar yang rajin ya, maaf ibu sangat lelah” dengan sedikit senyum ibuku meninggalkanku begitu saja.

                Kecewa rasanya penantian yang aku tunggu ternyata sia-sia, hanya berkata sepenggal kalimat dengan sedikit senyum lalu meninggalkan aku begitu saja. Malam itu aku sangat sedih, dengan air mata yang membanjiriku malam itu, aku pun tidak bisa terlelap tidak seperti biasanya, malam itu aku tidur larut malam hingga air mata ini tidak mau keluar lagi.

***

      “Non, bangun non udah pagi..” ucap Mbok Suzan sambil mengoyangkan tanganku, Mbok Suzan sangat terkejut ketika menyentuh tanganku yang begitu panas.

       “Astaga, ada apa non? Non sakit?” dengan perasaan panik Mbok Suzan membangukan ku, dan kemudian pergi untuk memanggil Pak Soleh untuk membantunya membawa ku ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit Pak Soleh langsung mengurus ku di sana, sedangkan Mbok Suzan sibuk menghubungi orangtuaku. Tak berapa lama orangtuaku datang dan menemuiku di ruang UGD rumah sakit tersebut.

        “Nak bangun nak bangun. Kamu kenapa? Maafkan ibu yang terlalu sibuk dengan urusan ibu” Aku mendegar suara ibu memanggilku yang lama kelamaan suara tersebut semakin tak terdengar, ibuku sangat panik dengan keadaan seperti itu tapi apa daya Tuhan telah memanggilku untuk menemuinya. Aku menghembuskan nafas terakhirku dipelukan ibu yang saat itu masih terasa hangat aku rasakan dengan kata-kata penyesalan yang ibu ucapkan mengiringi kepergianku.


-Selesai-

Untuk Bunda [Cerpen]


“Untuk Bunda”

Terik matahari menemaniku siang itu, aku kayuh sepeda tua dengan corak kimia berwarna keemasan yang terlihat masih cukup kokoh itu untuk pulang ke rumah, sepanjang jalan ku lintasi tanah  berkerikil dengan hiasan lubang di sepanjang jalan, dengan hiburan dedaunan kelapa sawit yang menari-nari bersama hembusan angin aku nikmati siang itu.

“Annisa, kamu sudah pulang?” tanya Ibuku

“Iya bu, hari ini sekolah pulang lebih awal” jawabku

“Oh kebetulan sekali, nanti kamu bisa bantu ibu metik kelapa sawit?” ajak ibuku

“Tentu saja aku mau bu” jawabku dengan semangat

“Yaudah ganti baju sana, lihat meja makan ibu masak makanan kesukaan kamu”

“Baik bu..” aku pun menganti baju sekolah dan menghampiri meja makan
ku nikmati makan siang itu walau sangat sederhana aku patut bersyukur karena masih banyak diluar sana yang sulit makan. Sehabis makan aku melanjutkan tugas sekolah yang belum selesai ku kerjakan kemarin malam.

“Annisaa..” panggil ibuku

“Iya bu” sahutku

Ku lihat ibu sudah siap dengan perlengkapan perang memetik kelapa sawit miliknya, dengan perasaan senang aku pun bergegas keluar meninggalkan tugas sekolah dan membantu ibu memetik kelapa sawit sore itu. Menyusuri jalan yang tidak kalah menantang dengan jalan yang kulintasi saat pulang sekolah tadi, mungkin hanya berbeda situasi saja, siang tadi ditemani sepeda tua itu, tapi kali ini ditemani wanita hebat disampingku yaitu Ibu.

Di kebun kelapa sawit milik Pak Zhu inilah ibuku mengais pundi-pundi rupiah untuk bertahan hidup serta membiayai pendidikan ku. Oh ya ayahku pergi merantau ke negeri seberang tepatnya negeri sembilan, ayah pergi saat aku masih duduk dibangku sekolah dasar, dia hanya pulang setahun sekali saat Hari Raya Idul Fitri saja, sedih memang ditinggal sang ayah tetapi aku harus kuat dengan keadaan ini dan kini untuk menyambung hidup ayahku tularkan kemampuannya dalam memetik kelapa sawit kepada ibu, sudah hampir 10 tahun ibuku menaruh hidupnya sebagai petani kelapa sawit, dengan umur hampir separuh abad ibuku masih kuat dan mahir dalam memetik kelapa sawit, sore itu aku temani ibuku hingga senja terbenam diufuk barat.
***
“Niss.. bangun” dengan mata yang masih separuh mengantuk dan tubuh yang masih lemas aku mencoba bangkit dari tidurku, mentari pagi memang belum memunculkan dirinya tetapi aku harus menjalani ibadah sholat subuh dan membantu ibuku untuk berjualan ubi rebus. Dinginnya suhu pagi itu tidak membuat semangat aku pergi kesekolah menjadi beku, aku pun berangkat ke sekolah dengan rute yang sudah hatam aku lewati tentunya dengan sepeda peninggalan ayahku, terlihat bangunan yang megah dengan cat putih-hijau dengan tiang bendera lengkap dengan bendera pusaka berkibar di tanah paling ujung Indonesia ini. Bel sekolah pun berbunyi ini saatnya untuk belajar, Jam demi jam pelajaran terlewati hingga bel pulang sekolah berbunyi, aku tak sabar untuk sampai di rumah membawa kabar gembira yang disampaikan wali kelasku.

“Assalamualaikum, ibu..” teriakku sambil mencari ibu

“Waalaikumsalam nak, ibu di belakang.” Jawab ibu dengan suara yang terdengar jauh

“Ibu, Annisa juara 1 Olimpiade Sains tingkat.”  Dengan perasaan gembira ku sampaikan berita ini

“Alhamdulillah anak ibu pintar sekali.”  Dengan perasaan senang diselimuti air mata ibuku sangat bersyukur kepada Tuhan.

“Annisa selanjutnya ikut tingkat nasional di Jakarta bu.” Ucapku

“Ibu bangga sama kamu nak, yaudah kamu belajar yang rajin supaya raih juara lagi.” Saran ibuku

“Iya bu, Annisa akan buktikan kalo Annisa bisa.” Sahutku dengan semangat kutinggalkan ibu yang sedang sibuk di dapur

Dengan waktu yang masih cukup lama untuk persiapan lomba aku pun mempersiapkan diriku sebisa mungkin diselimut doa dan usaha yang aku lakukan, dengan modal buku tipis yang aku punya dan pensil pinjaman dari temanku aku berusaha mengerjakan soal latihan yang diberikan guruku
***
Waktu yang ditunggu pun tiba, sore itu aku pamit kepada ibu untuk berangkat ke Jakarta dengan membawa nama Provinsi Aceh. Aku pun tak lupa minta doa dari ibu, serta tak ketinggalan memeluk ibu saat perpisahan itu.

“Raih mimpimu nak, buktikan kepada Ibu kamu bisa” bisik ibu disela kehangatan pelukannya

“Iya bu aku buktikan kepada ibu” jawabku.

Dengan mobil milik pemerintah aku berangkat meninggalkan kecamatan Besitang menuju Bandara Sultan Iskandar Muda. 6 Jam perjalanan telah ku lalui, Malam waktu Jakarta aku pun sudah tiba dan aku diantar panitia penyelenggara yang menjemputku di Bandara untuk ke hotel tempat aku menginap ini adalah kali pertama aku merasakan suasana kota metropolitan sekaligus ibukota Negara kita tercinta, sangat berbeda sekali dengan kecamatan Besitang yang masih sepi penduduk tidak seramai dan sesibuk kota besar ini, sampai hotel akupun langsung tidur karena perjalanan yang sangat melelahkan.

Pagi itu aku bangun seperti biasa dengan mentari yang belum memunculkan dirinya aku sudah bangun tetapi pagi itu aku hanya menunaikan ibadah tidak seperti biasanya yang membantu ibu menyiapkan ibu rebus untuk dijualnya, padahal baru 1 hari aku jauh darinya kini sudah teringat ia lagi.

Tepat jam 8 pagi lomba Olimpiade Sains tingkat nasional pun dimulai, dengan persiapan aku yang cukup matang aku mengerjakan satu per satu soal dengan mudah, tak terasa 3 jam pun berlalu dengan jawaban yang kurasa cukup yakin aku meninggalkan ruangan perlombaan itu, pengumuman lomba akan diumumkan besok hari.

Siang itu aku nikmati keindahan kota Jakarta yang sepi karena hari ini bertepatan dengan Hari Raya Natal, aku berjalan menyusuri jalan protokol mengunjungi Museum Nasional atau yang biasa disebut juga Museum Gajah dan tidak lupa mampir di ikon Jakarta Monumen Nasional atau Monas hingga petang menjelang, menatap senja di Jakarta aku teringat disaat aku membantu ibu memetik kelapa sawit sore itu, Aku memutuskan kembali ke hotel untuk beristirahat sore itu dan bermalam lagi disana.

***
Mentari muncul dengan sinarnya yang cerah pagi itu dengan perasaan penasaran langkah demi langkah aku lewati menuju ballroom hotel untuk mengikuti pengumuman perlombaan, aku sangat deg-degan dengan keadaan ini, aku sangat berharap aku bisa menjadi juara dalam perlombaan ini.

“Juara 1 Olimpiade Sains tahun 2004 diraih oleh Provinsi…. Aceh!” dengan lantang juri mengumumkan hasil perlombaan itu.

Dengan perasaan yang sangat gembira aku bersyukur kepada Tuhan karena aku berhasil menjadi juara pada perlombaan ini. Aku sangat tidak menyangka bahwa aku yang menjadi juaranya mengalahkan provinsi lain, dengan perasaan senang atas nama Provinsi Aceh diselimut tangis kegembiraan aku menerima piala dan hadiah tersebut.

Dengan perasaan senang aku kembali ke kamar dengan membawa piala dan hadiah tersebut dengan harap agar secepatnya memberitahu ibu kabar gembira ini, sesampainya di kamar terlihat televisi masih menyala ternyata aku lupa mematikan televisi pagi tadi, saat aku ingin mematikan televisi aku menyaksikan acara tersebut dan aku tak menyangka, sekitar 2 jam lalu Aceh digunjang gempa dan menimbulkan tsunami. Aku langsung tersipu lemas melihat tayangan itu, aku pun menangis saat melihat tayangan di layar kaca tersebut sambil memikirkan keadaan ibu, dengan perasaan sedih aku langsung bersiap untuk kembali ke Aceh.

Sesampainya disana apa yang terlihat, tanah kelahiranku kini rata dengan tanah kulihat kebun kelapa sawit yang kini menjadi puing-puing bangunan hancur akibat terbawa tsunami, aku berusaha mencari ibuku ke sana ke mari tetapi hasilnya nihil, saat aku lihat posko kesehatan darurat kulihat wanita dengan baju yang sudah kotor dan wajah yang pucat berbaring disana kudekati wanita itu, ternyata itu ibu “Ibuuu…” teriakku sambil memeluk ibu dengan penuh penyesalan. Aku rasakan denyut nadinya yang tadi lagi berdetak dan tangannya yang dingin, aku tak menyangka kini ibu sudah tiada tenggelam dalam bencana besar tersebut. Aku tak kuasa menahan tangis ini tidak seperti yang aku harapkan aku pulang membawa kabar gembira tetapi ibu sudah tiada.


-Selesai-